Rabu, 03 November 2010

Robohnya Kerukunan Beragama

    Penganiayaan terhadap pengurus Gereja Huria Kristen Batak Protestan, Asia Lumban Toruan, tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga luka pada bangunan kerukunan beragama di Indonesia.
    Negara yang dibangun di atas fondasi perbedaan-mengambil bentuk kalimat klasik Majapahit "Bhinneka Tunggal Ika"-ternyata begitu rapuh. Perbedaan tidak lagi menjadi perekat persatuan, tetapi penyebab gesekan sosial di masyarakat. Inilah masalah yang dihadapi Indonesia kekinian.
    Guncangan terhadap kerukunan beragama tidak bisa dianggap main-main. Sejarah menunjukkan bagaimana negara hancur ketika pluralisme diabaikan. Kejadian di Balkan, Kashmir, Afganistan, adalah sederet contoh kehancuran ketika perbedaan menjadi ajang untuk saling menghabisi.
    Indonesia pun berpotensi serupa. Sedari awal, negeri ini berdiri di atas fondasi perbedaan etnis, agama, bahasa, dan kelompok sosial yang berbeda-beda; sebuah rangka bangun yang sangat rentan terhadap konflik.
    Salah satu persoalan pluralisme terletak pada penyikapan atas perbedaan agama. Entah apa yang terjadi, sekelompok masyarakat kita enggan menoleransi perbedaan agama. Di mata mereka, agama yang berbeda merupakan ancaman dan harus dihancurkan. Padahal, jaminan atas sebuah keyakinan yang berbeda merupakan kata kunci kerukunan beragama.
    Tak dapat dimungkiri, toleransi merupakan bagian inheren kehidupan manusia. Lewat toleransi, transformasi sosial terjadi. Namun, sayang, potensi yang sebetulnya merupakan kekuatan justru dikoyak oleh chauvinisme beragama. Akibatnya, kaum mayoritas menindas minoritas.
    Sejarah persekusi dan represi mayoritas terhadap minoritas terjadi karena kesempitan pandangan dan kezaliman. Dalam sekelompok masyarakat sering terjadi formalisasi ajaran agama berlebihan, yang berakibat pada penggencetan kelompok lain yang berbeda. Ruang gerak dan kebebasan untuk menjalankan keyakinan dari kelompok minoritas sengaja dilucuti sehingga terintimidasi meski sekadar untuk beribadah. Jelaslah, ini bukan sekadar persoalan regulasi.
    Revisi tidak cukup
    Ketika kerukunan beragama retak, regulasilah yang pertama diributkan, Akar persoalan tidak pernah ditangani. Ini khas bangsa kita, meributkan asap tanpa mau bersusah payah mencari sumbernya.
    Regulasi memang harus diperbaiki, tetapi jauh lebih penting untuk membangun kesadaran mayoritas untuk menghormati dan berjiwa besar terhadap perbedaan keyakinan.
    Regulasi hanyalah bagian dari usaha membangun iklim kerukunan beragama, tetapi bukan persoalan pokok yang menyulut penindasan kelompok mayoritas terhadap minoritas. Problem pokoknya tetap pada relasi sosial yang timpang dan tidak adil.
    Tanggap minoritas
    Dalam relasi sosial yang sehat, minoritas harus dilindungi. Sejarah menunjukkan, penindasan terhadap minoritas justru melahirkan resistensi yang pada stadium selanjutnya akan menyebabkan disintegrasi. Oleh karena itu, sense of minority menjadi penting dewasa ini.
    Kasus HKBP di Bekasi dan kasus Ahmadiyah sebelumnya memperlihatkan bahwa sense of minority belum dimiliki oleh sebagian warga negeri ini, termasuk beberapa pejabat negara. Alih-alih menegakkan konstitusi, mereka malah menggunakan posisinya untuk melegitimasi represi terhadap kelompok yang berbeda keyakinan meski Undang-Undang Dasar menjamin hak setiap warga berkeyakinan.
    Padahal, etika agama apa pun selalu mengajarkan untuk melindungi yang lemah. Oleh karena itu, wacana merevisi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tidak akan bermakna apabila semangat sense of minority tidak ada. Peraturan ibaratnya bisa berubah setiap hari, tetapi tanpa semangat menghormati dan melindungi minoritas, masalah akan tetap saja muncul. Semangat inilah yang justru sering luput dari perhatian para pembuat regulasi. Mereka hanya sibuk mengubah pasal demi pasal tanpa mau membongkar bangunan filosofis yang selama ini selalu menguntungkan kelompok mayoritas.
    Di tengah ancaman semakin tipisnya batas toleransi beragama, menjadi kebutuhan sekarang untuk menggemakan kembali semangat pluralisme. Ruang-ruang untuk membangun relasi sosial keagamaan yang lebih terbuka akan bisa terwujud apabila disadari bahwa pluralisme merupakan bagian kehidupan kita.
    Dengan adanya kesadaran tentang pentingnya pluralisme, setiap pihak diharapkan menyadari bahwa sebagai manusia, kita tidak hanya dianugerahi persamaan, melainkan juga perbedaan. Setiap manusia mempunyai ciri, karakter, dan keyakinan masing-masing. Semua itu tidak bisa diseragamkan dengan cara apa pun.
    Hukum alam mengakui keberadaan mayoritas dan minoritas bukan semata untuk saling menghabisi, melainkan sebagai energi dialektika demi mencapai kemajuan peradaban umat manusia. Semoga saja adanya sense of minority dalam rajutan social fabric kita dapat menghapus segala bentuk penindasan yang dilakukan kaum mayoritas terhadap minoritas. Dengan demikian, robohnya kerukunan beragama di negeri ini bisa segera diatasi bersama.
    Yenny Zannuba Wahid Direktur The Wahid Institute
    Tulisan ini dimuat di Harian Kompas Sabtu, 25 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar