Senin, 31 Januari 2011

Tionghoa dalam Negara Pancasila

Oleh: As'ad Said Ali
Setengah abad lebih kita merdeka, namun hingga kini isu hubungan pribumi-etnis Tionghoa belum kunjung selesai. Prasangka negatif, utamanya dari pihak pribumi, atau mungkin keduanya, sampai hari ini masih saja terus tumbuh. Itu faktanya. Mengapa? Prof. Leo Suryadinata (2003) memberi jawaban; Menurutnya sebab musababnya sangat mendasar, yaitu karena Indonesia termasuk kelompok negara pribumi, yang dibedakannya dengan negara imigran seperti Singapura. Lebih jauh dikatakan, dan ini menjadi sebab langsungnya, karena konsep bangsa yang dianut" Indonesia adalah bangsa etnis, bukan bangsa sosial, meski diakui sesungguhnya situasinya lebih kompleks (Leo Suryadinata, 2002).

Paradigma kebangsaan 

Kesimpulan tersebut bisa saja benar, meski agak gegabah. Jika kita telaah risalah sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, kita temukan bahwa konsep bangsa, yang oleh para pendiri bangsa ini dijadikan sebagai landasan Indonesia merdeka, ternyata jauh dari apa yang disimpulkan Prof Leo tersebut, yakni tidak ada unsur etnisitas. Soekarno, dalam pidatonya di forum BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945, menyampaikan landangannya tentang kebangsaan, sambil mengutip dan mengkritik konsep Ernest Renan dan Otto Bauer yang dianggapnya sudah kuno. Menurutnya, bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib. Atau dengan kata lain kesatuan bangsa Indonesia tidaklah bersifat alami, melainkan historis. Artinya, bahwa yang mempersatukan masyarakat di bumi Indonesia adalah sejarah yang dialami bersama, sebuah sejarah penindasau, perjuangan kemerdekaan dan tekad untuk membangun kehidupan bersama. Selanjutnya, dalam konsep kesatuan historis tersebut, Soekarno menambahkan konsep tempat tinggal yang diambil dari ilmu geopolitik, yaitu "bumi yang terdapat di antara ujung Sumatera sampai ke Irian sebagai kesatuan bumi Indonesia." Di atas kesatuan historis dan bumi antara ujung Sumatera sampai Irian atau sekarang Papua itulah Soekarno menganjurkan untuk mendirikan satu Nationale Staat. Dalam konsep Yamin adalah "………segala penduduk tanah Indonesia dengan sendirinya menjadi bangsa Republik Indonesia." Jadi sangat jelas bahwa kebangsaan kita jauh dari unsur etnisitas dan ras. 

Dengan demikian, mengenai kata dalam UUD kita bahwa Presiden ialah orang Indonesia asli, yang dirisaukan oleh Prof Leo, pengertiannya bukanlah etnisitas. Orang Indonesia asli adalah semua warga bangsa yang berada di dalam satu ikatan kesatuan historis dan kesatuan tempat tinggal antara ujung Sumatera sampai Papua, atau yang disebut bumi Indonesia; yang secara etinistas di dalamnya ada Jawa, Melayu, Batak, Ambon, Papua, dan lain sebagainya, termasuk Tionghoa, Arab dan lain sebagainya. Lihatlah keangggotaan BPUPKI, di sana juga ada etnis Arab dan Tionghoa. Dari 68 anggota, 4 diantaranya adalah etnis Tionghoa, yakni Liem Khoen Hian, Oei Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoei, dan Tan Eng Hoa. Maka tidak salah pandangan almarhum Gus Dur bahwa bangsa Indonesia terdiri dari tiga ras, yakni ras Melayu, ras Tionghoa dan ras Austro-Melanesia. Dengan demikian etnis Tionghoa secara otomatis merupakan bagian integral dalam konsep pribumi, tidak seperti dikonotasikan selama ini sebagai non-pri.
 
Menurut saya, secara prinsipil pandangan Gus Dur tersebut kurang benar. Harusnya lebih luas dari itu, sebab bagaimana dengan etnis Arab misalnya? Penting dicatat bahwa, penggunaan istilah ras dalam konstruksi sosial, terutama kaitannya dengan konsep bangsa, dapat menimbulkan kesulitan konseptual dan mengandung bahayanya sendiri. Konsep ras pada dasarnya adalah merupakan pengertian biologis (Gill and Gilbert, 1988). Karena itu, bila mengaitkannya dengan konsep bangsa, dalam hal ini bangsa Indonesia, pijakannya harus disandarkan pada konsep kesatuan historis dan tempat tinggal seperti dikemukakan di atas. Dengan demikian, bukan hanya Tionghoa, etnis Arab pun secara otomatis mejadi bagian integral dari konsep orang Indonesia asli dan pribumi.

Akar Etnitisitas dan Rasisme 

Selanjutnya, mengapa dalam praktek berbangsa kita tumbuh stigma etnisitas atau pri-nonpri? Sentimen etnisitas, khususnya terhadap etnis Tionghoa, sejatinya lahir dari altar politik kekuasaan yang kemudian menelusup pada kesadaran etnisitas (sebagian) warga bangsa. Karena sifatnya demikian, sentiment tersebut acapkali meledak menjadi konflik sosial. Itulah yang kita saksikan selama ini. Kita dapat melihat fakta ini dalam sejarah perjalanan bangsa kita. Sentiment etnisitas dan konflik-konflik sosial yang melibatkan etnis Tionghoa baru terjadi sejak abad ke-19. Salah satu contoh adalah meledaknya kerusuhan sosial antara pribumi versus Tionghoa di Kudus pada 1918. Sentimem itu semakin kuat setelah Pemerintah Kolonial Belanda, melalui kebijakan hukum tahun 1920 (Artikel 163 ISjIndiesche Staatsregeling) menerapkan politik segregasi, yang membagi penduduk Hindia Belanda (Indonesia) menjadi tiga golongan: Eropa, Vreemde Oosterlingen (Timur Asing), danlnlanders (Pribumi). 

Dalam politik segregasi tersebut etnis Tionghoa bersama Arab dan India dikategorikan sebagai Vreemdelingen (orang asing). Padahal orang Tionghoa sudah turun temurun menjadi penghuni bumi Nusantara. Demikian pula orang Arab dan India. Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa bangsa Cina mengenal Jawa sudah sejak awal abad pertama masehi. Orang pertama Tionghoa yang mendarat di tanah Jawi adalah Fa Hian atau She Fa Hian (Denys Lombard, 1996). Menurut catatan Van Hien, ahli Javanologi Belanda, pendeta Buddha tersebut mendarat di Jawa pada 400 tahun sesudah masehi.

Yang penting kita garis bawahi, dalam kebijakan tersebut Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan konsep dan kategori baru terhadap orang Tionghoa, Arab dan India sebagai "orang asing", kedudukannya nomor dua setelah golongan Eropa, di atas golongan vreemdelingen atau pribumi. Segregasi dan konsep ini, dikalangan masyarakat pribumi kemudian tumbuh pandangan negatif yang bersifat rasia!. Padahal sebelumnya, seperti dicatat Lombard, tidak demikian. Asimilasi kebudayaan Cina dengan kebudayaan-kebudayaan lain di Nusantara selama beratus-ratus tahun sebelumnya berlangsung mulus dan alami. Asimilasi itu berlangsung sedemikian intensif, dan akulturasinya hingga institusi-institusi keagamaan. Sebagai contoh, bedug yang berasal dari Cina, selain di gunakan di kelenteng-kelenteng orang Tionghoa, oleh orang Islam Jawa juga digunakan untuk menandai waktu sholat di masjid-masjid atau musolla. Konon yang memperkenalkanya adalah Laksamana Cheng Ho.

Usaha Asimilasi

Celakanya sentimen tersebut terus tumbuh hingga masa kemerdekaan, bahkan hingga kini. Sebagian pengamat menuding politik kekuasaan sebagai faktor determinannya. Kesimpulan itu benar untuk masa kolonial, tetapi tidak sepenuhnya untuk masa pemerintahan Republik Indonesia. Benar bahwa UU nomor 6 tahun 1946 dan UU nomor 62 tahun 1958 (perubahan) tentang Kewarganegaraan RI, tetap membedakan WNI asli dan WNI keturunan asing. Demikian pula UU nomor 8 tahun 1974 mengenai hal yang sarna, yang berlaku pada masa Orde Baru. Namun tidak berarti bahwa tidak adanya perubahan dari Artikel 163 IS (Indiesche Staatsregeling) yang dituding sebagian pengamat sebagai sumber acuannya. 

Dalam UU masa Pemerintahan Republik Indonesia tersebut, sekalipun tetap membedakan antara WNI asli dengan WNI keturunan asing. namun ditegaskan anak cucu dari Tionghoa peranakan sebagai WNI asli. Sedangkan WNI keturunan asing adalah "orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara" (Rancangan UUD Pasal 27 dalam Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI). Yamin menambahkan, mereka yang disebut terakhir diberi hak repudiate (memilih) dan boleh pula memilih cara naturalisasi (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI). Ini berbeda dengan konsep peng-inlander-an (pribumisasi) bagi keturunan asing dalam Artikel 163 IS, dimana seorang Tionghoa bisa dikategorikan menjadi golongan pribumi jika mereka melakukan oplosing atau peleburan, seperti misalnya masuk Islam atau mengintegrasikan dalam budaya dan adat istiadat pribumi asli. Soekarno sendiri tidak henti-hentinya menegaskan bahwa Tionghoa peranakan adalah suku bangsa Indonesia. Seperti dalam pidatonya di Kongres Baperki 1963, dikatakan bahwa: "bangsa Indonesia terdiri dari pelbagai suku, yaitu suku Jawa, suku Batak, suku Minang ... dan suku peranakan Tionghoa".
 
Usaha asimilasi yang dilakukan oleh pemerintahan Soekarno maupun Soeharto memang masih mengandung banyak kekurangan. Bahkan sering dirusak sendiri oleh segolongan kelompok tertentu dalam politik kekuasaan untuk mendukung suatu kepentingan politik atau ekonomi tertentu. lnilah yang kita lihat dalam sejarah pemerintahan kita berkaitan dengan peraturan-peraturan pembatasan ruang lingkup usaha perdagangan golongan Tionghoa dibidang transportasi, ekspor¬impor, penggilingan padi dan lain-lain yang terjadi pada dekade 1950-an. Atau PP-10 tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa berdagang dan tinggal di daerah pedesaan dan pedalaman. 

Pada masa Orde Baru usaha asimilasi itu bahkan teras a dipaksakan. Misalnya kebijakan tentang tempat-tempat yang disediakan untuk anak-anak WNA Cina di sekolah-sekolah nasional sebanyak 40% dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina (Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967). Kebijakan ini pada sisi yang lain bisa pula dipandang sebagai diskriminasi. Demikian pula mengenai kebijakan tentang ganti nama dengan nama Indonesia (Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967; dan Keppres No.127 /U /KEP /12/1996), dan Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/iklan beraksen dan berbahasa Cina, dapat dipandang sebagai culture genocide. 

Nasib demikian tidak hanya dialami oleh gologan Tionghoa saja. Dalam bentuk yang lain, masyarakat Bali, Sumatera dan beberapa yang lain, juga merasakan hal yang sarna. Misalnya pada penerapan undang-undang pemerintahan desa, institusi Banjar dan Nagari atau lainnya, diganti dengan Desa, sebuah bentuk aglomerasi pemukiman di area perdesaan Jawa. Kebijakan-kebijakan ini adalah berakar dari politik penyeragaman, yang sesungguhnya meliputi banyak sekali hal, termasuk dalam kehidupan partai politik, seperti kebijakan fusi dan asas tunggal partai. Betapapun saya menghargai argumen yang melatarbelakangi kebijakan-kebijakan tersebut, namun politik penyeragaman itu mengingkari keramagaman yang merupakan fakta sosial dan politik bangsa Indonesia. 

Tahun 2006 adalah tonggak perubahan radikal. UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewargenegaraan Republik Indonesia mengubah konsep bangs a Indonesia secara revolusioner, dikembalikan sesuai dengan paradigma aslinya, yang dirumuskan dan disepakati oleh para pendiri bangsa ini. Konsep bangsa Indonesia asli dalam undang-undang tersebut dirumuskan sebagai semua orang Indonesia yang menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya. Paradigmanya tidak lagi ditentukan atas dasar etnis dan ras, melainkan atas dasar status yuridis. Dengan demikian perbedaan antara WNI asli dan WNI keturunan asing tidak ada lagi. 

Racial Prejudice

Lahirnya undang-undang tersebut patut kita syukuri, meski persoalannya belum selesai. Politik segregasi pemerintahan kolonial Belanda, yang menjadi asal-usul dan akar rasialime Indonesia, ternyata menyisakan persoalan yang akut. Seperti kita saksikan di masyarakat, sejauh ini stereotype tentang orang Tionghoa masih sangat kuat, yang mengganggu hubungan sosial diantara mereka menjadi tidak harmonis. Stereotipe itu terbentuk berdasarkan suatu pendapat yang sudah ada sebelumnya, yang melekat kuat karena telah terbentuk bertahun-tahun sejak penerapan politik segregasi. Sesungguhnya banyak faktor sosial yang ikut mempengaruhinya, tetapi stereotipe itu lebih banyak berhubungan dengan masalah ekonomi. Masyarakat Tionghoa dalam pandangan umum dinilai lebih kaya. Pandangan demikian secara kolektif menumbuhkan sikap fanatisme dan kecurigaan serta mendorong berkembangnya sentiment sosial yang bersifat laten. Maka berkembanglah racial prejudice. Karena itu permasalah keeil berlingkup individu seringkali meluas ke tingkat kelompok menjadi bersifat primordial. Keadaan ini menjadi lahan subur bagi pihak-pihak yang hendak mendorong pertentangan demi kepentingan politik tertentu sehingga muneul permusuhan dan konflik bersifat SARA. 

Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? Selain harus mengawal UU No.12 Tahun 2006 tersebut beserta seluruh peraturan-peraturan turunannya, hemat saya, kita perlu segera melakukan pembauran besar-besaran. Terutama di bidang pendidikan dan ekonomi. Tujuannya untuk mendorong tumbuhnya interaksi kultural secara massif sehingga asimilasi akan berlangsung mulus dan alami. Hemat saya strategi ini akan berdampak luar biasa, bukan sekedar dibidang sosial saja seperti terwujudnya asimilasi yang meluas, alami dan kokoh. Dibidang ekonomi akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi nasional yang dahsyat karena kelompok-kelompok kekuatan ekonomi kita menyatu menjadi kekuatan besar. Dibidang politik, seketika itu pula kita akan terhindar dari aneaman ledakan kerusuhan sosial yang mengancam persatuan bangsa, seperti selama ini sering terjadi. Menurut saya ini adalah tugas konstitusional yang wajib kita laksanakan untuk mewujudkan cita-eita kemerdekaan dan kebangsaan. Mari kita berkomitmen untuk mempelopori.

Jumat, 28 Januari 2011

Kyai Mahrus Aly - Lirboyo Kediri

Seorang teman mengajak saya mengunjungi Pondok Pesantren Lirboyo di kediri jawa Timur dan kebetulan disana menggelar acara satu Abab Pesantren Lirboy0. Namun sayang banyak  sekali kerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan. Hati saya ingin sekali menghadiri acara tersebut dan dapat memandang para Ulama-ulama yang datang ke acara tersebut. Saya membayangkan suasana di pesantren Lirboyo yang genap memasuki 100 tahun dan telah mencetak Ratusan Ulama-ulama ternama dan tersebar di pelosok Nusantara , termasuk salah seorang guru saya Almarhum Kh.Ishomuddin ( Gus Ishom ).
Salah seorang Tokoh Ulama penerus Pondok Pesantren Lirboyo adalah Kh.Mahrus Aly, putra dari seorang Ulama bernama Kh Aly. Lahir di Cirebon tahun 1906 , ibunya bernama Nyai Chasinah . Sejak kecil Kh Mahrus Aly hidup dalam lingkungan pesantren dan Beliau gemar menuntut ilmu terutama Ilmu Hadist dan Ilmu Nahwu shorof. Usia remaja Kh Mahrus telah hapal 1000 Bait Nadzhom Kitab Alfiyah Ibnu malik dan pernah juga melakukan debat Nahwu shorof dengan seorang Habib dari Yaman Hadro maut. Suatu ketika Kakaknya yang bernama Kh.ahmad Afifi mengadakan lomba hapalan dan pemahaman kitab Alfiyah , namun Kh Mahrus kalah dan merasa malu dengan keluarganya, hingga akhirnya Kh mahrus pergi meninggalkan rumah tanpa minta Izin kepada keluarganya, dan tentu saja membuat sedih sang ibundanya Nyai Chasinah. Maka sepanjang hari ibunya bermunajat kepada Allah agar anaknya Kh.mahrus Aly yang meninggalkan rumah dan keluarganya di jadikan ulama yang alim .
Kh.Mahrus Aly menimba ilmu Pada Kh.Cholil pengasuh pondok pesantren kasingan , begitu memasuki gerbang pondok , Kh.Mahrus Aly di sambut oleh para santri yang telah berbaris , bercampur heran Kh.Mahrus tetap melangkah memasuki pondok , belakangan diketahui bahwa telah tersyiar kabar bahwa dipondok Kasingan akan kedatangan seorang Ahli hadis bernama Mahrus Aly. Sambutan yang luar biasa dari para santri tidak membuat dirinya besar kepala , beliau disamping menimba ilmu kepada Kyai juga mengajar para Santri  maka tak heran bila Kh.Mahrus diangkat menjadi “Lurah Pondok” . Hampir lima tahun menimba ilmu di Pondok Kasingan  kemudian Kh.Mahrus Aly minta Izin kepada gurunya untuk pulang kerumahnya . Ketika sampai dirumahnya di Gedongan Kh.Mahrus Aly lagi lagi mendapat sambutan dari para santri dan keluarganya dengan penuh penghormatan . Mereka para santri kagum akan kecerdasan Kh Mahrus Aly dalam memahami Kitab Alfiyah . Rupanya Allah memberikan Futuh (Pembuka hati & Ilmu ) berkat doa Munajat dan riyadhoh sang Ibu kepada dirinya.
Tak puas dengan bekal ilmu yang dimiliki, Kh Mahrus aly  meminta izin kepada ibunya untuk menimba Imu di Pesantren Lirboyo, Tahun 1936 Kh Mahrus Aly belajar di Lirboyo di bawah asuhan Kh.Abdul karim . Melihat kecerdasan yang dimiliki Kh Mahrus Aly membuat gurunya terkagum kagum dan jatuh hati pada Kh.Mahrus Aly, maka sang Guru meminta kepada Kh Mahrus Aly untuk mau menjadi mantunya. Maka tahun 1938 Kh.Mahrus Aly menikah dengan putri gurunya bernama zainab. Kh Mahrus aly sangat mencintai ilmu maka tak heran Beliau selalu berpindah pindah dari pesantren yang satu kepesantren yang lain , hal ini beliau lakukan sekedar bertabarruk kepada para ulama seperti ke Pondok pesantren tebuireng (Kh.Hasyim asyari), Pondok-Pesantren Watu congol muntilan Magelang(Kh Dalhar) pondok pesantren Langitan tuban dll.
Kh.Mahrus Aly juga dikenal sebagai Ulama pejuang , beliau pernah memimpin para santri Lirboyo untuk Berjihad melawan tentara sekutu di Surabaya. H. Mahfudzseorang Komandan Peta (pembela tanah air ) yang mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia  itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri lirboyo  dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri lirboyo  diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .
Tepat pada jam 22.00 berangkatlah para santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Aly dan  Mayor H Mahfudz. Sebelum penyerbuan dimulai, seorang santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun  menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor H Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang  lebar. Dalam penyerbuan itu , gema Takbir “Allohuakbar ” berkumandang menambah semangat juang para Santri , aroma Surga dan Mati syahid telah mereka rindukan,  pada  akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang.
Selang beberapa lama, Mayor H.Mahfud melapor kemabli kepada Kh .Mahrus Aly di Lirboyo bahwa Tentara sekutu yang memboncengi Belanda telah merampas kemerdekaan dan Surabaya banjir darah pejuangan . Maka Kh.Mahrus  Aly mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Aly mengintruksikan kepada santri lirboyo untuk berjihad kemabli mengusir tentara Sekutu di Surabaya. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya untuk bergabung dengan Muhahid lainya. Dengan gagah Kh Mahrus Aly berangkat bersama dengan para santri santri Lirboyo untuk berjuang merampas kembali kemerdekaan Indonesia.
Hari senin KH. Mahrus Aly berpulang kerahmatullah, Tanggal 06 Ramadlan 1405 H atau  26 Mei 1985, tepat delapan hari setelah beliau dirawat di rumah sakit di  surabaya. Linangan air mata dari para santri Lirboyo melepas kepergian sang Kyia.

Sabtu, 22 Januari 2011

RESOLUSI JIHAD
Spirit Rakyat dalam Perang 10 November 1945 

Jakarta, NU Online
Kedasyatan pertempuran 10 November 1945 di Surabaya tidak bisa dilepaskan dari Resolusi Jihad, Perintah Perang, yang dikeluarkan oleh Hadratush Syaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari pada Tanggal 22 Oktober 1945. Pernyataan Perintah Perang itu disampaikan oleh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di depan Presiden Soekarno di Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, beberapa hari sebelum pecah Perang 10 November 1945.

Ihwal pertemuan bersejarah itu diungkapkan oleh Ki Setyo Oetomo Darmadi, adik pahlawan PETA Soepriyadi, di Blok A, Jakarta, Ahad, 7 November 2010.

Menurut mantan anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang akrab dipanggil Ki Darmadi, Bung Karno menemui Kiai Haji Hasyim Asy’ari ditemani oleh Residen Jawa Timur Soedirman, ayah Kandung Mantan Gubernur Jawa Timur Basofi Soedirman. Dalam pertemuan bersejarah di Pondok Pesantren Tebu Ireng itu, kedua pemimpin tersebut membahas situasi politik terkait kedatangan Pasukan Sekutu dibawa Komando Inggris, yang membawa serta penjajah Belanda.

“Kiai, dipundi (despundi, bhs Jawa: bagaimana: RED.), bahasa Bung Karno, Inggris datang niku(itu: Jawa), gimana umat Islam menyikapinya? “ tanya Presiden Soekarno kepada Rois Akbar NU, yang akrab dengan panggilan Mbah Hasyim.

Mendapat pertanyaan atas sikapnya dengan kedatangan pasukan Sekutu, yang berdalih mengambil alih kekuasaan dari Jepang, lawan Perang Dunia Kedua yang sudah dikalahkan, yang berarti juga menafikan Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, Mbah Hasyim pun menjawab dengan tegas.

Lho Bung, umat Islam jihad fisabilillah (berjuang di jalan Allah: RED.) untuk NKRI, ini Perintah Perang !” kata Rois Akbar Nahdlatul Ulama Hadratush Syaikh Kia Haji Hasyim Asy’ari, menjawab pertanyaan, sekaligus permintaan bantuan dari Presiden Soekarno dalam menghadapi ancaman pasukan Sekutu.

Pasukan AFNEI mulai mendarat di Jakarta pada Tanggal 29 September 1945 dibawa pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. AFNEI berkekuatan 3 divisi: Divisi ke-23 dibawa Komando Mayor Jenderal D.C Hawthorn, menguasai daerah Jawa Barat; Divisi ke-5 dibawa Komando Mayor Jenderal E.C.Mansergh, menguasai daerah Jawa Timur; dan Divisi ke-26 dibawah Komando Mayor Jenderal H.M. Chambers, menguasai daerah Sumatera. Adapun Brigade ke-49 dibawa pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S.Mallaby yang mendarat di Surabaya merupakan bagian Divisi ke-23 pimpinan Mayjen D.C Hawthorn. Ketiga divisi itu bertugas mengambil alih kekuasaan Indonesia dari Jepang, yang berarti tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Menurut Ki Darmadi, seruan jihad melawan pasukan sekutu yang dikeluarkan Kiai Haji Hasyim Asy’ari itulah yang dikenal sebagai Resolusi Jihad. “Lalu Kiai Hasyim Asy’ari meminta Bung Tomo supaya teriak Allahu Akbar untuk menggerakkan para pemuda. Jasa utama Bung Tomo itu karena diperintah Kiai Haji Hasyim Asy’ari jadi orator perang,” ungkap Ki Darmadi terkait ihwal munculnya pekik Allahu Akbar yang dikumandangkan Bung Tomo melaui radio-radio.

Terkait pertanyaan kenapa Bung Karno menemui Mbah Hasyim Asy’ari, adik Pahlawan Nasional Soepriyadi, yang lahir di Kediri pada 17 Maret 1930 silam ini menjawab, “Tujuannya supaya Kiai Hasyim Asy’ari yang memiliki pengaruh besar di kalangan umat Islam itu menggerakkan jihad. Lalu ada yang hendak mengenyampingkan, kenapa Bung Karno tidak ke BKR (TKR: RED)? Saya punya jawaban. Karena jauh sebelum itu, saat pasukan PETA terbentuk, semua komandan batalyonnya itu ulama. Dan yang punya pengaruh besar terhadap para ulama, dan santri itu kan Kiai Haji Hasyim Asy’ari,” terang Ki Darmadi.

Di antara para ulama yang memegang kendali komando terhadap pasukan PETA, salah satu cikal bakal BKR itu, adalah Panglima Divisi Suropati, Kiai Imam Sujai, Divisi Ranggalawe dengan Panglimanya Jatikusumo, wakilnya adalah Soedirman, ayah kandung Basofi Soedirman, mantan gubernur Jawa Timur. Termasuk di Jawa Barat, komandan resimennya seorang ulama yang berjuluk Singa Bekasi, Kiai Haji Noor Ali.

“Jadi pilihan Bung Karno menemui Kiai Hasyim Asy’ari itu sudah tepat, karena yang bisa menggerakkan umat Islam ya, Kiai Haji Hasyim Asy’ari. Terbukti sebelum Inggris masuk seluruh komandan batalyon PETA itu ulama,” tandas Ki Darmadi.

Presiden Soekarno memang datang ke orang yang tepat, lanjut Ki Darmadi, dampak perangnya pun luar biasa, seperti digambarkan dalam buku berjudul : Api Neraka di Surabaya. “Pertempuran di Surabaya itu bagaikan neraka bagi pasukan Sekutu. Orang bisa mati-matian berperang, itu karena perintah jihad tadi,” terang Ki Darmadi.

Pelaku dan saksi sejarah lainnya, yaitu Tokoh dan sesepuh Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Haji Muchit Muzadi beberapa tahun lalu mengatakan, Hari Pahlawan 10 November itu tak bisa dilepaskan dengan Resolusi Jihad NU, yang dicetuskan para ulama di Bubutan, Surabaya pada 22 Oktober 1945.

“Proklamasi yang diucapkan Bung Karno dan Bung Hatta merupakan tantangan kepada tentara Sekutu yang saat itu berkuasa setelah Jepang menyerah,” kata Kiai yang akrab dipanggil dengan Mbah Muchit ini. Pernyataan salah seorang santri Hadratus Syaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari ini kian menegaskan, bahwa Deklarasi Resolusi Jihad 21-22 Oktober 1945 merupakan kelanjutan dari hasil pertemuan Bung Karno dengan Mbah Hasyim.

Segera setelah itu, ribuan kiai dan santri bergerak ke Surabaya. Pada Tanggal 28 Oktober 1945, pasukan sekutu dibawa Brigadir Jenderal Mallaby mengambil alih lapangan udara Morokrembangan, dan beberapa gedung penting kantora jawatan kereta api, pusat telepon dan telegraf, termasuk Rumah Sakit Darmo.

Pertempuran besar tak terhindarkan antara 6 ribu pasukan Inggris dengan 120 ribu pemuda Indonesia yang terdiri dari para santri, dan tentara. Akibat kalah jumlah Mallaby meminta bantuan Hawthorn agar pihak Indonesia menghetikan pertempuran. Hawthorn pun meminta Soekarno agar mau membujuk panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran. Terjepit pasukan sekutu itu digambarkan dalam buku Donnison “The Fighting Cock” sebagai “Narrowly escape complete destraction” alias hampir musnah seluruhnya”, kalau tidak dihentikan Soekarno – Hatta dan Amir Syarifuddin.

Jenderal Sekutu Tewas
Karena tidak mau belajar, dari kekalahan pertama, Brigjen Mallaby pun tewas dalam pertempuran yang pecah pada Tanggal, 30 Oktober 1945. Panglima AFNEI Letjen Philip Sir Christison pun mengirim pasukan Divisi ke-5 dibawa Komando Mayor Jenderal E.C.Mansergh, jenderal yang terkenal karena kemenangannya dalam Perang Dunia II di Afrika saat melawan Jenderal Rommel, jenderal legendaris tentara Nazi Jerman. Mansergh membawa 15 ribu tentara, dibantu 6 ribu personel brigade45 The Fighting Cock dengan persenjataan serba canggih, termasuk menggunakan tank Sherman, 25 ponders, 37 howitser, kapal Perang HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, dan 12 kapal terbang jenis Mosquito.

Dengan mesin pembunuhnya itu, Mansergh mengultimatum rakyat Surabaya, untuk bertekuk lutut alias menyerah, yang berarti mengakui Indonesia belum merdeka.

”Ultimatum Sekutu itu pun tak digubris sehingga terjadilah pertempuran 10 November 1945 dengan korban yang tidak sedikit, bahkan para santri dari Kediri, Tuban, Pasuruan, Situbondo, dan sebagainya banyak yang menjadi mayat dengan dibawa gerbong KA,” kata Mbah Muchit.

Kiai Kelahiran Tuban Jatim pada 1925 itu menambahkan, semangat dan tekad untuk merdeka itu merupakan semangat yang dipupuk melalui Resolusi Jihad NU yang digagas para ulama NU di Jalan Bubutan, Surabaya.”Tapi, terus terang, semuanya itu tidak tercatat dalam sejarah, karena ulama NU itu memang tidak ingin menonjolkan diri, sebab mereka berbuat untuk bangsa dan negara demi ridlo dari Allah SWT, bukan untuk dicatat dalam sejarah,” katanya.

Dampak perlawanan itu sepertinya tidak pernah terpikir oleh pasukan Sekutu, yang mengultimatum, agar seluruh pemuda, dan pasukan bersenjata bertekuk lutut. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

“Kenapa bisa begitu? Karena sebenarnya yang fanatik melbu suwargo (Bhs Jawa: masuk surga: RED.) itu kan Islam, jadi sudah tidak mikir apa-apa lagi. Mana ada Jenderal Sekutu tewas dalam Perang Dunia Kedua, itu kan hanya terjadi di Surabaya, di Indonesia, dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby,” kata Ki Darmadi menandaskan.

David Welch menggambarkan dasyatnya pertempuran itu dalam bukunya, Birth of Indonesia (hal. 66),“Di pusat kota pertempuran adalah lebih dasyat, jalan-jalan diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda, kucing-kucing serta anjing-anjing bergelimangan di selokan selokan. Gelas - gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telephon bergelantungan di jalan-jalan dan suara pertempuran menggema di tengah gedung-gedung kantor yang kosong. Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang”

Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. Pada akhir bulan November 1945 seluruh kota telah jatuh ke tangan sekutu. Namun semangat perlawanan oleh para pejuang Indonesia yang masih hidup tak bisa dipadamkan. Para santri, dan tentara mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan Surabaya dan kemudian mereka membuat garis pertahanan baru mulai dari Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur. Beberapa versi menyebut, korban dari pihak Republik Indonesia mencapai 20 ribu, bahkan ada yang menyebut 30 ribu jiwa.

Pelaku dan Saksi Sejarah
Pertanyaan, kemudian muncul, bagaimana membuktikan bahwa peristiwa Pertemuan Bung Karno dengan Rais Akbar Kiai Haji Hasyim Asy’ari itu benar? Mendapat pertanyaan ini Ki Setyo Oetomo Darmadi, menjelaskan posisinya. Menurutnya, Inggris datang ke Surabaya itu jauh sebelum meletus Perang 10 November 1945.

“Setelah meletus Pemberontakan PETA yang dipimpin Soepriyadi, saya dan ayah saya sekeluarga ditahan oleh penjajah Jepang, setelah Proklamasi Kemerdekaan, yaitu pada Tanggal 25 Agustus kami sekelurga dibebaskan. Usia saya saat itu 15 tahun, lalu masuk BKR. Karena saya Adiknya Soepriyadi, saya bisa kenal sama kiai-kiai, di antaranya Pak ud (KH Jusuf Hasyim), Pak Baidlowi, lalu bapaknya Pak Rozi Munir, yaitu Pak Munasir. Dan kebetulan saya masih familinya Bung Karno, jadi saya tahu ada pertemuan Bung Karno dengan Kiai Haji Hasyim Asy’ari. Hasil pertemuan itu juga disampaikan oleh Bung Karno kepada para anggota BKR,” ungkap Ki Darmadi menjawab, asal sumber kesaksian.

Seruan Resolusi Jihad yang disampaikan di depan Presiden Soekarno oleh Rois Akbar Kiai Haji Hasyim Asy’ari merupakan peristiwa sejarah yang terpendam, dan hanya menjadi sejarah lisan. Namun, peristiwa tersebut bukan isapan jempol. Saat penulis meneliti sejumlah arsip Kabinet Presiden di Arsip Nasional, Cilandak, Jakarta Tahun 2001, penulis menemukan indeks tentang Resolusi Jihad. Namun saat saya pesan untuk saya baca, ternyata bagian pelayanan arsip tersebut menyatakan arsip sudah kosong, alias hilang.(abdullah taruna)

NASIONALISME MUSLIMIN INDONESIA

Oleh : Zaim Nugroho

Ide Nasionalisme bukan barang baru bagi muslim Indonesia, perlawanan bangsa Indonesia melawan kolonialisme lekat sekali dengan gerakan Islam. Sebutlah Sarekat Islam (SI), sebuah gerakan politik berbasis massa yang pertama di Indonesia. Aktor aktor utama SI sekaligus adalah tokoh tokoh utama muslim Indonesia. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) juga memberikan sumbangan terhadap terbentuknya nasionalisme Indonesia. Fatwa jihad fi sabilillah yang disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari sangat efektif dalam rangka mengobarkan semangat juang melawan pihak kolonial Belanda. 


Dalam webster’ New enclopedic dictionary, nasionalsime adalah “loyalitas dan pengabdian kepada sebuah bangsa terutama diungkapkan dengan pujian bahwa bangsanya berada di atas bangsa bangsa lain dan dengan perhatian yang terus menerus dengan mempromosikan kebudayaan dan berbagai kepentingan kepetingannya.” Nasionalisme juga bisa berarti cinta dan pengabdian kepada sebuah bangsa.

Secara Historis, Islam dan Nasionalisme memiliki hubungan yang kuat. Muslim Indonesia adalah kelompok terdepan dalam gerakan gerakan anti –kolonialisme. Studi Micleal Francis Laffan, Islamic Nationhood and colonial Indonesia, the umma below the winds (2002) memberikan gambaran tentang pergumulan muslim Indonesia dalam konteks gerakan nasionalisme Indonesia awal abad ke-20. Tidak dapat dipungkiri konsep seperti umma dan wathan telah memberikan kontribusi terhadap terbentuknya nasionalisme di Indonesia.
Kenyataan tersebut tidak lantas menutup semua pertanyaan tentang Islam dan Nasionalisme. Terlebih setelah reformasi yang seringkali disebut sebagai “periode euforia demokrasi”. Seperti membuka kotak pandora, ide yang muncul sangat beragam, dengan implikasi yang besar terhadap rasa nasionalisme dan kebangsaan. 

Ide itu cukup beragam mulai dari Federalisme, pemberlakuan piagam Jakarta, Penerapan Syari’at Islam, konsep “putra daerah” dan “pendatang” sampai dengan Khilafah Islamiyah, dan masih banyak lagi. Pada periode itu Timor Timur memutuskan memisahkan diri NKRI. Namun pada periode itu pula konflik Aceh dapat diakhiri dengan kesepakatan damai. Meskupun demikian, berbagai konflik –etnis ,Religius, dan politik- juga meletus di tempat tempat lain.

Masalah Nasionalsime bagi kalangan muslim Indonesia tampaknya masih perlu untuk dicermati, mengingat semakin menguatnya gerakan Islamisme. gerakan ini dicirikan sebagai sikap dan presepsi muslim Indonesia terhadap isu-isu, antara lain penerapan Syari’at Islam dalam kehidupan sosial politik, atau disebut hukum Islam, disamping dukungan atas bias gender dan Intoleransi keagamaan. 

Masalah lain yang masih menjadi kendala antara lain adalah masih seringnya tindak kekerasan yang mengatas namakan Agama, agama yang awalnya menjadi spirit perjuangan bangsa diawal kemerdekaan sekarang dijadikan alat untuk kepentingan golongan tertentu yang ingin memaksakan kehendaknya.

Gerakan ini bukan bukan hanya ingin mengubah wajah Islam Indonesia yang toleran tetapi secara sistematis dan struktur ingin merubah dengan sistem Negara dengan sistem Agama, Gerakan ini menjadikan agama sebagai tujuan politik dan bukan jalan hidup. Hizb Tahrir Indonesia (HTI) misalnya, secara terang terangan menolak konsep Nasionalsme dan kebangsaan, mereka beranggapan bahwa konsep ini berasal dari Barat, untuk itu mereka menolak Negara Bangsa dan menggantikannya dengan khilafah Islamiyah.

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah kelompok organisasi yang cukup concern terhadap persolan kebangsaan. Kedua organisasi itu terus mengawal Republik ini dari zaman kolonial samapai era sekarang, dan kedua ormas ini menyumbang pemikiran serta gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara yang bisa mensejahtrakan rakyatnya. NU dan Muhammadiyah sekarang diuji kesetianya unutk terus mempertahankan republik ini dari aksi radikalisme Agama. Mengingat Aksi ini adalah bagian dari aksi global yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan bangsa Indonesia.

Kini saatnya muslim Indonesia mampu berbuat sesuatu yang berharga bagi bangsa, di tengah aksi terror yang mengatasnamkan Agama, Muslim Indonesia diharapkan menjadi garda terdepan dalam memertahankan semangat nasionalisme dan mengawal republik ini menggapai cita citanya..

Dicabutnya Ilmu dari Seorang Hamba

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
: إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا 
( صحيح البخاري )


“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia (Allah) mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang ulama pun (diwilayah itu), maka orang-orang mengangkat ulama dan sesepuh dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.”

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Imageحَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي هَذَا الشَّهْرِ اْلعَظِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
.
Limpahan puji kehadirat Allah Yang Maha Luhur, Yang Maha melimpahkan keluhuran, Maha melimpahkan cahaya kebahagiaan, Maha melimpahkan cahaya ketenangan, Maha melimpahkan cahaya kesejukan, Maha melimpahkan cahaya kesejahteraan dengan cahaya dzikir, dengan cahaya kemuliaan dan keluhuran yang terbit dengan cahaya Allah subhanahu wata’ala yang dicipta Nya, bukan cahaya matahari yang mana terbit dan terbenam, namun cahaya yang menuntun kepada terang benderangnya kehidupan dunia dan akhirah siraajan muniira (pelita yg terang benderang), sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Seorang pemimpin yang membawa cahaya keluhuran Ilahi, menuntun kepada kedamaian dan ketenangan dengan menjadikan sanubari kita sebagai tempat rahasia keluhuran Ilahi untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirah, dan ketika cahaya itu berpijar di dalam sanubari kita, maka akan terlihatlah keberkahannya pada penglihatan, pendengaran, ucapan, perbuatan, dan pada semua yang kita lewati siang dan malam.

Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah,


Jika cahaya keberkahan itu dibuka oleh Allah subhanahu wata’ala untuk menerangi jiwa kita maka di saat itu keberkahan akan muncul di penglihatan kita sehingga Allah menunutun semua yang kita lihat, menuntun kita kepada keluhuran, ketika kita melihat fuqara’ dan melihat apapun, maka yang akan kita lihat bukan lagi hanya sekedar bentuk, warna, gambaran atau sifat, namun yang kita lihat akan menuntun kita pada rahasia keluhuran Allah, mengingatkan kita kepada Allah, membuat kita semakin khusyu’. Dan jika kita melihat orang yang kaya atau miskin, orang yang gembira atau sedih, atau yang lainnya kesemuanya itu tidak akan membuat kita berpaling namun akan menuntun kita kepada jalan yang paling luhur yaitu jalan menuju Allah subhanahu wata’ala, jalan kepada ketenangan dunia dan akhirah, jalan kepada kekhusyuan, jalan menuju nama-Nya Yang Maha Luhur yang mengawali segenap nama, yang membuka rahasia segenap keluhuran yang muncul pada setiap hamba-hamba-Nya yang masing-masing mempunyai nama, dan setiap nama itu telah diterbitkan padanya keluhuran di dunia dan akhirah, atau keluhuran di dunia saja.


Semoga namaku dan nama kalian diterangi cahaya keluhuran di dunia dan akhirah, diterangi dengan cahaya keberkahan di dunia dan akhirah, begitu juga dengan pendengaran kita, penglihatan kita, ucapan kita, perbuatan kita, pekerjaan kita, rumah tangga dan keluarga kita diterangi cahaya Allah, dinaungi Allah, dinaungi kewibawaan Allah, dinaungi keluhuran Allah, dinaungi keberkahan Allah, dinaungi keindahan Allah.

Ketika Allah telah membukakan kepada seseorang rahasia keindahan Allah maka ia tidak akan lagi merasa susah dengan musibah, dan tidak pula ia akan tertipu dengan kenikmatan, karena hatinya telah dekat dengan Sang Maha Abadi, Allah subhanahu wata’ala.
Bagaimana cara dekat dengan Sang Maha Abadi ?, dekatlah kepada orang yang menuntunmu kepada tuntunan keluhuran Sang Maha Abadi, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka yang harus kita temui dan kita dekati setelah wafatnya sayyidina nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah para pewarisnya.

Saudara saudariku yang kumuliakan


Rantai keguruan yang tadi saya sampaikan disebut dengan Silsilah Dzahabiyyah ( rantai emas ) atau Silsilah Qutbiyyah yang kesemua rantai itu adalah para wali Allah, para shalihin dan para Ulama’ ahlussujud (orang yg banyak beribadah dan banyak bersujud) yang diperoleh dari gurunya ahlu assujud dan dari gurunya ahlu assujud dan seterusnya sampai kepada imam ahlu assujud, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dari ahlulkhusyu’ berguru kepada ahlulkhusyu’, berguru kepada ahlulkhusyu’ dan seterusnya hingga sampai kepada imam ahlulkhusyu’ sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang bercahaya dengan makrifah, haqiqah dan syariah berpadu di dalam setiap tuntunan mereka, jiwa mereka penuh dengan keluhuran makrifah, haqiqah dan syariah yang bersambung dari guru ke guru hingga sampai kepada pemimpin pembawa syariah, makrifah dan haqiqah, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.


Maka rantai keguruan itu disebut sebagai rantai emas, dan disebutkan para salafussalih bahwa barangsiapa yang menyatukan sanad (ikatan dan hubungan) keguruan dengan keguruan itu maka tidak akan pernah terputus selama-lamanya, bagaikan rantai emas yang bersatu antara satu mata rantai dengan mata rantai yang lainnya, yang mana jika digerakkan satu mata rantai maka akan bergerak pula seluruh mata rantai hingga ke ujung mata rantai, sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hadirn hadirat yang dimuliakan Allah


Kita mendengar keluhuran hadits nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari bahwa Allah subhanahu wata’ala tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari dada para ulama’ tetapi dengan cara mewafatkan para ulama’, inilah musibah terbesar di muka bumi, bukanlah gempa bumi atau tsunami, bukan pula gunung berapi atau angin topan dan lain sebagainya.


Musibah yang sebenarnya adalah wafatnya para ulama’, jika ulama’ telah wafat maka semua musibah akan muncul. Maka semakin Allah panjangkan usia para ulama’ kita musibah akan semakin menjauh. Jika para ulama’ sudah tidak ada maka manusia akan kebingungan dan mencari guru-guru yang tidak mempunyai sanad keguruan, atau guru yang jahil/tidak berilmu), tidak berguru pada ahlul khusyu’, yang akhirnya hal yang bid’ah akan dikatakan sunnah, dan sebaliknya yang sunnah dikatakan bid’ah, ziarah kubur dikatakan syirik, bertawassul dikatakan syirik, karena mereka tidak mempunyai sanad keguruan, mereka hanya belajar pada buku tanpa tuntunan guru, bukan berarti tidak boleh belajar pada buku namun tentunya jika kita punya guru seorang alim yang shalih maka ia akan mengajarkan kita jika kita tidak mengetahui makna yang kita baca dalam buku itu, maka boleh belajar pada buku namun harus mempunyai guru, karena guru bertanggung jawab jika seandainya kita salah, maka di hari kiamat guru yang akan bertanggung jawab atas kesalahan kita, maka akan dipanggil guru itu untuk bertanggung jawab atas ajaran yang tidak benar misalnya, maka guru mesti bertanggung jawab, namun buku tidak akan bisa bertanggung jawab (atau dimintai pertangggungjawab).

Oleh sebab itu sanad keguruan sangat penting , maka berpegang teguhlah dengan rantai sanad keguruan. Semua para ulama’ kita yang hadir disini sebagian besar masing-masing sudah mempunyai sanad keguruan.

Dan para habaib dan ulama’ yang di Jakarta sanad keguruan mereka sampai kepada sanad yang tadi saya sebutkan, oleh sebab itu berpeganglah padanya, jangan sampai kita berguru pada orang yang tidak mempunyai sanad keguruan, karena sabda Rasulullah bahwa jika para ulama telah tiada maka manusia akan berguru kepada yang tidak memiliki ilmu. Jika dalam satu wilayah tidak ada lagi ulama’, maka orang yang tidak berilmu akan dijadikan ulama’ sehingga ketika mereka bertanya mereka akan menjawab dan berfatwa semaunya tanpa ilmu, sehingga sesatlah dan menyesatkan.

Berpeganglah guru-guru yang shalih, yang mulia, berilmu dan mempunyai sanad keguruan yang bersambung kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Saudara saudariku yang kumuliakan


Diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhari di dalam kitabnya Adab Al Mufrad, dan juga Al Imam Baihaqi, dan Al Imam Thabrani dan lainnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :


أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ ؟ قَالُوْا : بَلَى . قَالَ : اَلَّذِيْنَ إِذَا رُؤُوْا ذُكِرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Maukah kalian saya beritahu orang yang terbaik di antara kalian?”  mereka menjawab: “mau wahai Rasulullah” beliau bersabda: “ yaitu orang-orang yang bila kalian melihatnya, mereka itu selalu berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”

Mereka adalah para ulama’ dan shalihin, para ahlussujud, para ahlu dzikr, jika engkau melihat wajahnya maka akan bergetar jiwamu karena ingat kepada Allah subhanahu wata’ala, hal ini telah disampaikan oleh rasulullah 14 abad yang silam. Tadi kita telah mendengar sanad keguruan kita sekaligus juga untuk mengingatkan bahwa hari Minggu, 26 Desember 2010 Haul Al Imam Fakhrul wujud Abu Bakr bin Salim maula ‘Inat di komplek Hankam Cidodol Kebayoran Lama. Beliau adalah seorang hujjatul islam dan seorang yang sangat luhur derajatnya di sisi Allah subhanahu wata’ala, dengan ilmu yang sedemikian luasnya sehingga sering menjadi rujukan bagi para ulama’ di masanya, beliau adalah sosok yang sangat tawadhu’, disebutkan dalam salah satu riwayat dan telah kita dengar sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

اتّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَإنّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ
“ Takutilah firasat seorang mukmin, karena ia melihat dengan cahaya dari Allah ”

Suatu hari Al Imam Fakhrul wujud kedatangan tamu seorang wanita yang telah membuatkan makanan semalam penuh khusus untuk Al Imam, dan ketika wanita itu sampai di depan pintu rumah Al Imam, maka penjaga pintu berkata : “Ibu mau kemana?”, ibu itu menjawab : “aku mau menghadiahkan semangkuk bubur ini untuk sang imam”, maka penjaga itu berkata : “wahai ibu, lebih baik makanan ini dishadaqahkan saja kepada fuqara’ karena setiap harinya di dapur al imam selalu dipenuhi dengan sembelihan kambing dan puluhan kilo beras dimasak setiap harinya”, maka ibu itu merasa kecewa namun menyadari apa yang telah dikatakan oleh penjaga itu, karena pastilah semangkuk bubur itu tidaklah ada artinya bagi al imam fakhrul wujud, kemudian ia pun pergi.

Maka muncullah firasat pada Al Imam fakhrul wujud, dan disaat itu beliau duduk bersama tamu-tamunya kemudian keluar berlari untuk mengejar tamunya, padahal belum pernah Al Imam Fakhrul wujud berlari, seraya memanggil : “wahai ibu, wahai ibu, apa yang engkau bawa?” penjaga pintu itu kaget dan terheran karena baru pertama kali melihat al imam berlari. Maka ibu itu berkata : “wahai Al Imam aku hanya membawa semangkuk bubur ini yang kubuat semalaman hanya untuk imam, namun penjagamu mengatakan bahwa semangkuk bubur ini tidak berarti karena di dapur sang imam telah dipenuhi banyak makanan maka lebih baik bubur ini kusedekahkan kepada fakir miskin saja”, maka Al Imam fakhrul wujud berkata : “belum pernah ada hadiah yang lebih membuatku gembira selain hadiah darimu ini, jazakillah khairal jazaa”, kemudian al imam menerima makanan itu dengan gembira lalu beliau memberi ibu itu 1000 dinar. Kemudian Al Imam kembali kepada penjaganya dan berkata: “tahukah engkau bahwa ibu itu telah susah payah membuatkan makanan untukku walaupun sedikit??, maka seperti itulah keadaanku di hadapan Allah subhanahu wata’ala, yang mana aku telah beribadah semampuku namun tidak ada artinya di hadapan Allah, dan jika engkau usir ibu itu barangkali aku pun bisa terusir dari rahmat Allah subhanahu wata’ala”. 


Demikian ketawadhuan (rendah hati dan kesopanan adab) Al Imam Fakhru wujud Syaikh Abu Bakr bin Salim. Beliau mempunyai murid yaitu putranya Al Imam Husain bin Abi Bakr bin Salim, dan anaknya mempunyai murid yaitu Hujjatul Islam wabarakatul anam Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Atthas Shahib Ar Rathib, dan beliau mempunyai murid yaitu Hujjatul Islam Al Imam Abdullah bin ‘Alawy Al Haddad Qutbul irsyad Shahib Ar Ratib dan beliau mempunyai murid yaitu Al Imam Ahmad bin Zain Al Habsyi shahib Al Hauthah. Al Imam Al Haddad berkata tentang Al Imam Ahmad bin Zain : “salah satu muridku yang telah mencapai pada kedalaman ilmu syariah seperti Al Imam Syafi’i adalah Ahmad bin Zain Al Habsyi”,karena begitu luasnya ilmu syariat para imam kita terdahulu.

Demikian keadaan murid Al Imam Al Haddad, maka terlebih lagi beliau dan terlebih lagi gurunya Al Imam Atthas hingga sampai kepada Al Imam Fakhrul wujud Syaikh Abu Bakr bin Salim, yang akan kita peringati haulnya pada hari Minggu tanggal 26 Desember 2010 jam 08.00 WIB di komplek Hankam Cidodol Kebayoran Lama bersama guru mulia kita Al Musnid Al Arif billah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh.

Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah


Sungguh para imam terdahulu bukanlah seperti yang telah dikatakan oleh sebagian orang yang menganggap bahwa mereka bisanya hanya sekedar ziarah, shalawatan, atau hal-hal yang syirik yang mereka perbuat, padahal sungguh mereka adalah para imam besar dan kita tidak ada yang menyaingi mereka. Dan salah satu murid Al Imam Ahmad bin Zen Al Habsyi adalah Al Imam Abdullah bin Abdurrahman Balfaqih ‘Allamatuddunya, beliau digelari ‘Allamatuaddunya, karena disaat itu tidak ada seorangpun yang melebihi keilmuannya, beliau berkata saat mendekati ajalnya : “aku mempunyai 8 cabang ilmu yang belum sempat aku ajarkan dan 8 cabang ilmu itu hilang karena aku orang terakhir yang mengetahuinya saat ini”, mengapa demikian? karena belum ada diantara murid-muridnya yang mencapai derajat untuk bisa mempelajari 8 cabang keilmuan itu.


Salah satu kejadian ketika musim Haji di Makkah Al Mukarramah dan disaat itu tidak seperti sekarang dimana kesemuanya menjadi hal yang syirik dan bid’ah di makkah. Di zaman itu Makkah Al Mukarramah penuh dengan ulama’, para mufti dan hujjatul islam. Maka disaat ada sebuah pertanyaan yang tidak terjawab dan tidak ada yang bisa menjawab, disaat itu ada Al Imam Abdullah bin Abdurrahman Balfaqih, karena disaat itu semua memakai pakaian ihram maka tidak ketahuan kalau beliau adalah Al Imam Abdullah, maka Al Imam berkata kepada orang awam yang berada di sebelahnya untuk menjawab pertanyaan tadi setelah memberitau jawabannya kepada orang itu, maka orang awam itu berdiri dan berkata : “jawabanya adalah begini dan begini….” Maka guru mufti Makkah dan para imam besar melihatnya dan berkata : “engkau siapa dan datang dari mana?”,maka orang itu menjawab : “saya hanya orang biasa bukan seorang ulama”, mufti itu berkata :“mustahil kamu mengetahui jawabannya, karena tidak ada yang tau jawaban dari pertanyaan ini kecuali ‘Allamah Addunya Al Imam Abdullah bin Abdurrahman Balfaqih, apakah engkau murid beliau atau kenal dengan beliau?”, orang awam menjawab : “tidak, aku bukan muridnya dan tidak pula kenal dengannya”, mufti Makkah kembali bertanya : “terus kamu tau dari mana jawaban itu?”, ia menjawab : “dari orang yang disebelahku ini” dan ternyata beliau adalah Al Imam Abdullah bin Abdurrahman Balfaqih.

Mufti Makkah berseru : “Allahu Akbar...!, Wahai Al Imam majulah kedepan jangan duduk di belakang”, lantas beliau kedepan dan mufti Makkah berkata : “Mohon ajarkan kami ilmu tafsir”,maka Al Imam berkata : “mengajarkan kalian ilmu tafsir?! berapa lama aku harus disini, sedangkan aku hanya akan duduk beberapa hari saja disini untuk haji?!”, maka mufti Makkah menjawab : “sebisanya saja wahai Al Imam”, lantas Al Imam bertanya : “Aku mulai dari tafsir awal surat atau bagaimana?”, mufti Makkah menjawab : “dari awal surat wahai Al Imam”,maka Al Imam duduk dan mulai mensyarahkan huruf “baa” dari ayat pertama di surat Al Fatihah     بسم الله الرحمن الرحيم syarah huruf “baa” belum selesai syarah penjelasannya hingga belasan kali majelis hingga berakhir masa haji dan beliau pulang ke Hadramaut penjelasan huruf “Baa” dari huruf pertama di alqur’an itu belum selesai, demikian keluasan ilmu ulama’ terdahulu.

Dan di dalam ma’rifah dan haqiqah pun mereka adalah lautan dan samudera makrifatullah subhanahu wata’ala, warisan dari sayyidatuna Fathimah Az Zahra’ Ra belahan jiwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga dari Pintu ilmu sayyidina Ali bin Abi Thalib kw, begitu juga khulafa’urrasyidin, kaum muhajirin dan anshar, rahasia keluhuran itu terwariskan dari zaman ke zaman dan walaupun kita sangat jauh dari masa mereka namun rantai keguruan masih terurai ke hadapan kita untuk menyambung sanad keguruan kita kepada baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kita berpegang kepada guru kita yang mempunyai sanad kepada guru-gurunya hingga kita sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula Al Imam Al Bukhari yang tadi telah kita baca hadits shahihnya, dimana beliau adalah seorang yang ahli khusyu’ yang ketika berumur 10 tahun beliau telah hafal Al qur’an, dan ketika berusia 12 tahun beliau telah hafal 200.000 hadits shahih, dan ketika berumur 20 tahun beliau telah hafal 600.000 hadits, dan beliau terus berusaha mendalami ilmunya. Diriwayatkan dalam kita Siyar a’laamu nubala dan Tadzkiratul huffadh, bahwa ketika Al Imam Bukhari datang kepada Al Imam Muhammad bin Salam seorang Hujjatul islam dan muhaddits, maka Al Imam Muhammad bin Salam berkata : “jika si bocah ini berada disini maka aku terbata-bata dalam membaca hadits dan sanadnya karena dia adalah ahli hadits lebih dari aku” dan ketika Al Imam Al Bukhari pergi berkatalah Al Imam Muhammad bin Salam : “maukah kalian tahu seorang anak yang hafal lebih dari 70.000 matan hadits beserta sanadnya?, dialah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al Bukhari”, maka ia pun dikejar oleh tamunya dan bertanya : “wahai bocah, betulkah kamu hafal 70.000 hadits beserta sanadnya?”, Al Imam Bukhari menjawab : “iya betul, bahkan lebih dari itu, engkau bisa tanya matan haditsnya dan perawinya maka akan kusebutkan pula tanggal, bulan, dan tahun lahirnya dan wafatnya, dimana tempat tinggalnya beserta guru-gurunya, sejarah hidupnya, maka akan aku sebutkan semuanya satu persatu periwayat demi periwayat dengan secara terperinci hingga sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”, beliau telah hafal lebih dari 70.000 hadits saat masih bocah, demikianlah Al Imam Bukhari Ar (Ar= Alaihi Rahmatullah/semoga baginya limpahan Rahmat Allah swt).

Oleh sebab itu para muhadditsin lainnya telah menganggap Al Imam Al Bukhari sebagai sayyid al muhadditsin (Raja para ahli hadits), dan beliau adalah orang yang sangat cinta kepada sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sangat bersih dari segala maksiat, beliau tidak mau menyakiti perasaan orang lain dan tidak pula mau menertawakan kebodohan orang lain.

Suatu hari saat beliau membacakan hadits beserta sanadnya, maka ada satu orang yang sangat takjub dengan beliau karena hebatnya dalam menyampaikan hadits beserta sanadnya, maka beliau tertawa dalam hatinya (bukan tertawa secara dhohir, tapi hanya dalam hati) melihat ketakjuban orang itu terhadap beliau.

Setelah selesai ceramah Al Imam mencari orang tersebut dan barulah ketemu keesokan harinya kemudian beliau meminta maaf dan memohon ridha karena beliau telah menertawakannya dalam hati.

Beliau jenius, ketika membaca atau mendengar sekali saja maka beliau akan langsung hafal. Suatu ketika beliau diuji disuatu wilayah, berkumpullah para muhadditsin , maka 100 hadits disebutkan dengan sanad yang diacak-acak atau dibolak balik sehingga menjadi kacau, maka ketika Al Imam Al Bukhari disebutkan sebuah hadits kemudian beliau ditanya : “taukah engkau hadits itu?”, maka Al Imam bekata : “tidak, aku tidak mengetahui sanadnya”, kemudian disebutkan lagi hadits yang kedua dengan perawi yang diacak-acak pula, lalu ditanyakan kepada Al Imam : “taukah engkau hadits ini?”, beliau menjawab : “tidak, aku tidak tau”, sampai pada hadits yang ke 100 beliau tetap mengatakan tidak tahu, maka beliau pun ditertawakan.

Kemudian Al Imam Al Bukhari berdiri dan berkata : “maaf, hadits tadi yang telah engkau sebutkan semua sanadnya salah, yang benar adalah sanadnya dari fulan dari fulan ( kemudian Al Imam Al Bukhari menyebutkan semua perawinya hingga sampai kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)”, begitu seterusnya hingga hadits yang ke 100.

Ia hafal riwayat sanad hadits yg diacak acak itu walau hanya sekali mendengarnya, lalu mengulanginya, dan lalu menyampaikan yg benar, Maka orang-orang pun mengakuinya bahwa dia adalah Raja ahli hadits.

Beliau sangat mencintai rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga beliau menulis 70.000 lebih hadits shahih Al Bukhari yang ia hafal di raudhatussyarif yaitu tempat diantara makam dan mimbar rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk bertabarruk dengan dekatnya beliau dengan makam sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah beliau wafat, disuatu wilayah terjadi panas yang terus menerus dan tidak turun hujan, maka para muridnya dan para imam yang lainnya berdatangan ke makam Al Imam Al Bukhari kemudian berdoa di makam beliau dan bertawassul kepada beliau maka turunlah hujan yang sangat deras selama 7 hari 7 malam karena keberkahan cinta Allah kepada Al Imam Al Bukhari walaupun beliau telah wafat jasadnya namun ruhnya tetap hidup, sebagaimana para syuhada’ telah difirmankan oleh Allah dalam Al qur’an :

وَلاَ تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُقْتَلُ فِيْ سَبيْلِ اللهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَ لَكِنْ لاَّ تَشْعُرُوْنَ
( البقرة : 154 )
“Dan janganlah kamu katakan ter­hadap orang yang terbunuh di jalan Allah bahwa mereka mati. Bahkan mereka hidup, akan tetapi kalian tidak merasakan.” ( QS. Al Baqarah : 154 )
Jika demikian rahasia keluhuran para syuhada’ maka terlebih lagi mereka para shalihin. Dimana Allah subhanahu wata’ala telah berfirman :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ
(المائدة : 155
“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” ( QS. AL Maidah : 155 )

Maksudnya bukan berarti ada tuhan kedua, ketiga, namun rahasia kekuatan dan kemenangan Allah wariskan kepada sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian rasulullah mewariskan kepada para shalihin dan para ulama’. Sebagaimana sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

 أُعْطِيْتُ مَفَاتِيْحَ اْلكَلِمِ وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ وَبْيَنمَا أَناَ نَائِمٌ اَلْباَرِحَةَ إِذْ أُتِيْتُ بِمَفَاتِيْحِ خَزَائِنِ اْلأَرْضِ حَتَّى وُضِعَتْ فِيْ يَدِيْ، قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ فَذَهَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَأَنْتُمْ تَنْتَثِلُوْنَهَا.
"Aku telah diberi kunci-kunci pembuka semua kalimat (Al Qur'an) dan aku diberi pertolongan dengan gentarnya musuh, dan ketika aku tidur semalam, aku diberi seluruh kunci-kunci perbendaharaan bumi hingga ditaruhkan ditanganku". Berkata Abu Hurairah ra: "Setelah Rasulullah saw wafat maka kalian yang mendapatkannya dan memunculkannya".

Dan setelah rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, maka ummatnya lah yang mewarisinya, itulah rahasia kesuksesan dunia dan akhirah.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah

Saya tidak berpanjang lebar kita mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kunjungan fadhilah As sheikh Hisham Kabbani dan As Shaikh Jibril semoga dipanjangkan usia beliau dalam rahmat dan keluhuran. Semoga para ulama’ dan para shalihin dijaga oleh Allah subhanahu wata’ala, karena jika tidak ada lagi para ulama’ dan shalihin maka bencana-bencana akan semakin bertambah, namun jika gemuruh dzikir masih dikumandangkan di muka bumi maka musibah akan semakin dijauhkan. Sebagaimana sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam


لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى لَا يُقَالُ فيِ الْأَرْضِ‏:‏ ‏‏الله،  ‏‏الله

“Tidak akan terjadi kiamat itu kecuali bila sudah tidak ada penduduk bumi yang mengucapkan kalimat Allah – Allah”

Dan dalam riwayat lain rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ عَلَى أَحَدٍ يَقُوْلُ : الله الله
“Tidak akan terjadi kiamat bila masih ada orang yang menyebut : Allah, Allah.”

Kita berdoa demi suksesnya acara kita malam Selasa yang akan datang, dzikir akbar bersama guru mulia kita Al Arif billah Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh, dan juga dzikir akbar bersama beliau malam tahun baru di Gelora Bung Karno semoga sukses. Sungguh kita sangat miris dengan kejadian ummat muslimin yang larut, sehingga ada diantara mereka yang datang mulai waktu Subuh untuk sekedar menonton sepak bola dengan membayar 100.000 atau 150.000 dan tak sedikit dari mereka yang hingga meninggalkan shalat Dzuhur, Asar, atau Maghrib bahkan ia membayar pula untuk hal itu demi melihat benda bulat yang ditendang dan dikejar lagi, padahal orang yang beriman ia akan rela mati daripada harus meninggalkan waktu shalat dimana itu adalah panggilan Allah subhanahu wata’ala. Musibah di muka bumi ini tidak akan pernah sirna hingga majelis-majelis dzikir, majelis shalawat makmur di muka bumi ini, sebagaimana sabda nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam riwayat Shahih Al Bukhari :

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقْبَضَ الْعِلْمُ وَتَكْثُرَ الزَّلَازِلُ وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ وَتَظْهَرَ الْفِتَنُ وَيَكْثُرَ الْهَرْجُ وَهُوَ الْقَتْلُ الْقَتْلُ حَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمُ الْمَالُ فَيَفِيضَ

“Tiada akan datang hari kiamat hingga tercabutnya ilmu, dan terjadi banyak gempa, dan waktu terasa bergulir cepat, dan munculnya banyak fitnah, dan banyaknya perkelahian dan pembunuhan, hingga berlimpah pada kalian harta, maka harta ditumpahkan seluas-luasnya”

Tidak akan terjadi hari kiamat hingga semakin banyaknya kemungkaran, pembunuhan, banyak orang yang mengaku nabi, semakin cepatnya perputaran waktu, semakin banyak terjadi gempa bumi dan fitnah, yang kemudian akan muncul kemakmuran yang menyeluruh, maka para sahabat bertanya:“bagaiamana keadaan ummat di saat itu?”, rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “ satu kali sujud bagi mereka lebih mereka cintai daripada dunia dan isinya”. 


Maka jika telah muncul tanda-tanda orang menyukai sujud berarti kemakmuran akan segera terbit di muka bumi. Semoga Allah subhanahu wata’ala munculkan rahasia sujud kepada ummat muslimin dan diwafatkan dalam keadaan Husnul khatimah, hidup dalam cahaya keluhuran, hidup dalam cahaya kebahagiaan, hidup dalam cahaya dzikir, cahaya ilmu dan cahaya khusyu’, dengan cahaya ketenangan dan kedamaian, dan cahaya kebagiaan dunia dan akhirah, semua ini mustahil kecuali hanya dari-Mu wahai Allah.